Teori Konsumen Islami


Written by Aan Zainul Anwar
I.                   Pendahuluan
Dalam teori ekonomi, sebuah perekonomian akan berjalan jika unsur-unsur dalam ekonomi berjalan dan saling memanfaatkan satu sama lain sebab pada prinsipnya manusia adalah makhluk social yang saling ketergantungan antar sesama. Adanya produsen dikarenakan adanya konsumen. Begitu pula adanya sesuatu yang dihasilkan  karena adanya permintaan dari masyarakat yang memerlukan sebab konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Namun secara sederhana dapat diartikan sebagai pengguna barang dan atau jasa. Masing-masing konsumen merupakan pribadi unik dimana antara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan yakni setiap saat konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa. Tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut dengan utilitas.
Kepuasan adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang memiliki cita rasa yang berbeda namun jika yang diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak membatasi konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsumsi sebagai wujud kebersinambungan antara sang makhluk (hablu minan nas) dan antara sang tuhan (hablu minallah).
II.                Mengukur Kepuasan Konsumen
Perilaku konsumen dalam teori mikro ekonomi konvensional dalam mengkonsumsi barang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan yang maksimum. Maka, untuk mengukur kepuasan tersebut dapat melalui pendekatan-pendekatan beberapa aspek, melalui pedekatan marginal utility dan pendekatan indifference curve.
a.       Pendekatan marginal utility
Pendekatan ini diukur melalui satuan-satuan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya seperti uang (rupiah), barang, jumlah, dan lainnya. Secara teori, Semakin besar jumlah barang yang dapat dikonsumsi maka semakin tinggi tingkat kepuasannya. Konsumen yang rasional akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada tingkat pendapatan yang dimilikinya. Besarnya nilai kepuasan akan sangat bergantung pada individu (konsumen) yang bersangkutan. Adapun konsep kepuasan konsumen terdiri dari kepuasan total (total utility) dan kepuasan tambahan (marginal utility).
b.      Pendekatan indifference curve atau ordinal mengasumsikan bahwa konsumen mampu meranking / membuat urutan-urutan kombinasi barang yang akan dikonsumsi berdasarkan kepuasan yang akan diperolehnya tanpa harus menyebutkan secara absolut. Mengukur kepuasan konsumen dengan pendekatan kurva indiferensi
didasarkan pada 4 (empat) asumsi, yakni:
*      Konsumen memiliki pola preferensi akan barang-barang konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk peta indiferensi.
*      Konsumen memiliki dana dalam jumlah tertentu.
*      Konsumen selalu berusaha untuk mencapai kepuasan maksimum
*      Semakin jauh dari titik origin, maka kepuasan konsumen semakin tinggi

Berbeda dengan teori ekonomi mikro islami, mengukur kepuasan tidak hanya ditinjau dari semakin tinggi konsumsi semakin tinggi kepuasan konsumen, melainkan barang yang dikonsumsi bersifat halal atau haram. Hal ini sebagai mana perintah Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. Al-Maidah : 87-88).

III.             Prinsip-Prinsip Dasar Konsumsi Islam
Islam sebagai agama yang sempurna (syamilah kamilah) senantiasa mengajak umatnya untuk bisa hidup dengan sebaik mungkin, termasuk sesuatu barang yang dikonsumsi atau yang dibelanjakannya. Bukan tanpa alasan Islam menuntut manusia untuk sebisa mungkin mengkonsumsi barang-barang yang halal, meski dalam keadaan tertentu yang diharamkanpun boleh dikonsumsi namun hanya sebatas untuk memenuhi keberlangsungan yang bersifat sangat terpaksa. Hal ini penting karena manusia kelak akan menjalani masa kehidupan kembali setelah kematian (akhirat) dan yang menentukan kebahagiaan diakhirat ditentukan oleh perilaku kehidupan di dunia, termasuk kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Konsumsi barang halal dan haram tentu berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah yang berimplementasi pada pahala yang pada ujungnya akan berpengaruh pada kepuasan. Logikanya, barang yang kita konsumsi adalah barang yang sah dan halal maka akan membawa terhadap kemantapan dan kualitas ibadah karena ketika menggunakan tanpa dicampuri dan dibebani salah sehingga akan diterima dan mendapat pahala untuk bekal hari setelah kematian nanti.
Maka, halal dan haram suatu barang tidak hanya diukur dari satu aspek saja (zat yang dilarang) melainkan beberapa aspek yang menjadi prinsip dalam konsumsi  diantaranya:
1.      Prinsip syariah yaitu menyangkut dasar syariah yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi, dimana terdiri dari:
a.       Prinsip akidah, yaitu konsumsi didasarkan dengan tujuan hidup manusia dan sebagai mahluk yang dituntut untuk taat menjalankan perintah tuhan.
b.      Prinsip ilmu, yaitu pengetahuan tentang ilmu dan hukum terhadap barang yang dikonsumsi, ditinjau dari segi halal haram baik sifat, zat, proses dan kegunaanya.
c.       Prinsip amaliah, adalah aplikasi dari akidah dan ilmu yaitu hanya menggunakan yang benar-benar halal.
2.      Prinsip kuantitas, yaitu prinsip dasar sebagai diatur dalam islam, diantaranya:
a.       Sederhana, yaitu menggunakan sesuai dengan kebutuhan dan menghindari dari berlebihan atau kikir
b.      Menggunakan sesuai dengan pendapatannya.
c.       Menabung dan investasi, artinya tidak semua pendapatan dihabiskan untuk konsumsi, melainkan ada yang ditabungkan.
3.      Prinsip prioritas, yaitu memprioritaskan konsumsi sesuai dengan kebutuhan supaya tidak terjadi ke sia-siaan (mahdlarat) yaitu dengan memperhatikan :
a.       Primer, konsumsi kebutuhan primer harus menjadi prioritas utama supaya keberlangsungan hidup tetap terjaga
b.      Sekunder, mengkonsumsi kebutuhan sekunder diperlukan jika memang menjadi penunjang kebutuhan primer.
c.       Tersier adalah konsumsi yang belum saatnya digunakan.
4.      Prinsip social, yaitu dengan memperhatikan kondisi social culture masayrakat sekitar.
5.      Kaidah lingkungan, yaitu dengan memperhatikan kondisi alam lingkungan.
6.      Tidak meniru budaya konsumsi yang bertentangan dengan etika, baik agama maupun masyarakat.

IV.             Kesimpulan / Penutup
Manusia sebagai mahluk social dituntut untuk mampu memperhatikan kebutuhan hidupnya tidak hanya dalam waktu sesaat dan tidak pula untuk dirinya sendiri. Konsumsi manusia terhadap segala sesuatu kebutuhan harus memperhatikan aturan-aturan lingkungan, serta jangka waktu yang panjang. Kepuasan (utility) akan didapat dengan sendirinya jikalau sesuatu yang dikonsumsinya membawa nilai manfaat, maslahah, dan barokah.






Bahan Bacaan
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Rajawali Press, 2010
Arif Pujiono, Teori Konsumsi Islami, Jurnal Dinamika Pembangunan Edisi Desember 2006
Tim Jurusan Administrasi Bisnis, Pengantar Ilmu Ekonomi, Politeknik Negeri Kupang, 2007
Ujang Sumarwan dkk, Riset Pemasaran dan Konsumen, Bandung, IPB Press 2011

0 comments:

Post a Comment